“Kejadian itu terasa begitu mengerikan … beribu-ribu manusia dengan kelawang dan berbagai senjata memekik-mekik bagai serigala haus darah … mereka berduyun-duyun tak ada habisnya sambil terus memekik dan memaki-maki … kemudian menerjang dengan beringas dan penuh kebencian …”
Itulah gambaran yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami detik-detik peristiwa 18 September 1948 tatkala kudeta PKI diproklamasikan di Madiun.[2] Ketika itu beribu-ribu manusia dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya seperti air bah. Tanpa babibu lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari berbagai arah ke segala arah menerjang segala apa yang mereka jumpai.
Musuh utama PKI adalah umat Islam khususnya para kiai dan santri. Hal ini sangat dimengerti sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya.
Setelah itu, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang menjadi sasaran PKI tentu tidak tinggal diam dan tunduk ketika agamanya diberangus. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta, telah membentuk Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, siswa Madrasah Menengah Tinggi Djamsaren , Solo, sebagai komanden Brigade PII syahid bersama delapan orang anggotanya yang berasal dari berbagai sekolah dan pesantren, dalam pertempuran melawan pemberontak PKI di Madiun.[3]
Magetan sebagai kawasan paling dekat dengan ibu kota Keresidenan Madiun, dalam tempo beberapa hari telah jatuh ke tangan PKI. Pembersihan dilakukan dimana-mana untuk mendongkel yang bukan merah dan diganti dengan yang merah. Maka sejarah pun mencatat praktik-praktik mengerikan yang dilangsungkan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari aksi Khmer Merah di Kamboja. Apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari teror mereka untuk meruntuhkan moral lawan-lawan mereka.